PERAN ORANG TUA SEBAGAI INVESTOR GIZI MENUJU SDGS 2030 & INDONESIA EMAS 2045
Saya dulu berpikir kenapa negara Indonesia tidak bisa seperti Arab yang tidak perlu sistem pajak. Tapi setelah ayah saya masuk rumah sakit karena COVID-19 dengan kondisi yang sangat parah, pandangan saya berubah total. Allah SWT sangat baik, semua biaya ditanggung oleh pemerintah meski sebenarnya kami mampu secara ekonomi dengan kemungkinan besarnya biaya diluar jangkauan keluarga kami. Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa pajak yang kita bayar menyelamatkan banyak orang lewat program-program kemanusiaan. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dialami keluarga-keluarga yang secara ekonomi kurang mampu tanpa program ini.
Program Makan Bergizi Gratis memiliki potensi yang sama besarnya. Program ini harus dirancang sebagai penggerak perubahan perilaku gizi keluarga, terutama bagi orang tua yang terbebani kerja dan ekonomi. Menurut data Riskesdas 2018, 30.8% anak Indonesia mengalami stunting, yang sebagian besar disebabkan oleh pola asuh gizi yang tidak optimal di rumah. Sebuah tinjauan sistematis berjudul The Impact of School-Based Nutrition Interventions on Parents and Other Family Members (Eman dkk., 2022) menunjukkan bahwa pemberian informasi gizi di sekolah berdampak positif pada peningkatan pengetahuan gizi orang tua di rumah. Melalui strategi pendidikan terintegrasi – seperti pesan gizi di menu makanan, laporan digital, dan insentif partisipasi – pengetahuan gizi bisa masuk ke rumah tanpa memberatkan. Dengan demikian, sekolah tidak hanya memberi makan, tapi juga menjadi teladan pola asuh gizi yang praktis dan terjangkau.
Namun sebelum membahas implementasi di Indonesia, mari kita pelajari tiga negara yang berhasil mengelola program serupa. Estonia dan Finlandia dikenal karena transparansi keuangan dalam mengelola anggaran negara. Meski keduanya menerapkan transparansi, indeks kebahagiaan Estonia jauh lebih rendah daripada Finlandia. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi faktor kunci dalam kesuksesan program. Sementara itu, Jepang menganut sistem Shokuiku untuk program makan siang di sekolah. Menurut Masaki Yasushi, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, sistem ini tidak hanya soal pemberian makanan, tapi juga pendidikan gizi dan nilai-nilai kebersamaan.
Harapan terbesar orang tua terhadap Program Makan Bergizi Gratis bukan sekadar "anakku kenyang di sekolah," tetapi transformasi fundamental dalam ekosistem gizi keluarga. Mereka berharap program ini menjadi Program Pendidikan Gizi bagi Orang Tua yang komprehensif, dimana setiap menu sekolah disertai dengan panduan implementasi di rumah. Orang tua ingin mendapat akses ke media cetak atau digital yang memberikan menu sehat berdasarkan bahan lokal yang terjangkau, pemantauan gizi anak, dan jaringan pembelajaran sesama orang tua yang memungkinkan mereka saling berbagi pengalaman dengan orang tua lain yang menghadapi tantangan serupa.
Lebih dari itu, orang tua berharap program ini dapat mengubah dinamika gender tradisional dalam tanggung jawab gizi keluarga. Selama ini, beban pendidikan gizi hampir sepenuhnya dipikul oleh ibu. Program makan bergizi gratis diharapkan dapat mengintegrasikan peran aktif ayah dalam keluarga. Workshop "Ayah Peduli Gizi," partisipasi dalam komite sekolah, dan berbagi tanggung jawab dalam perencanaan menu di rumah bukan hanya akan meringankan beban ibu, tetapi juga menciptakan teladan maskulinitas positif bagi anak-anak. Ketika ayah terlibat aktif dalam pendidikan gizi, anak-anak belajar bahwa kepedulian dan pengasuhan adalah nilai universal, bukan sekadar "tugas perempuan."
Dari perspektif orang tua, implementasi program ini harus mempertimbangkan keragaman kemampuan ekonomi keluarga. Sistem kontribusi bertingkat dengan insentif pajak menjadi harapan realistis: keluarga kurang mampu mendapat kredit pajak tambahan, keluarga menengah mendapat potongan pajak 30-50%, sementara keluarga mampu tetap berkontribusi penuh. Sistem ini tidak hanya adil secara ekonomi, tetapi juga membangun rasa kepemilikan. Ketika orang tua bisa melacak kontribusi mereka dari APBN hingga ke meja makan anak, transparansi ini membangun kepercayaan terhadap program pemerintah dan mendorong partisipasi aktif dalam pemantauan kualitas program.
Orang tua juga berharap program ini dapat menjadi pemicu pengembangan ekonomi lokal melalui kebijakan pengadaan lokal. Ketika 70% bahan baku berasal dari petani dan UMKM lokal, ini menciptakan dampak berganda: harga pangan lokal stabil, kualitas produk meningkat, dan orang tua memiliki akses ke bahan makanan bergizi yang terjangkau. Program pelatihan dan sertifikasi untuk pekerja dalam rantai pasok makanan sekolah juga memberikan peluang pekerjaan layak bagi komunitas, termasuk orang tua yang ingin berkontribusi aktif dalam program ini.
Program Makan Bergizi Gratis dengan pendekatan pemberdayaan orang tua ini secara langsung mendukung pencapaian SDGs 2030, khususnya Goal 2 (Tanpa Kelaparan) melalui peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga, Goal 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera) melalui pengurangan stunting dan malnutrisi, Goal 4 (Pendidikan Berkualitas) karena anak dengan gizi baik memiliki kemampuan kognitif yang optimal, dan Goal 5 (Kesetaraan Gender) melalui redistribusi tanggung jawab gizi dalam keluarga, serta Goal 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) melalui penciptaan lapangan kerja berkelanjutan dalam rantai pasok makanan lokal. Lebih jauh lagi, program ini menjadi fondasi untuk Indonesia Emas 2045, dimana generasi yang tumbuh dengan gizi optimal dan kesadaran gizi yang tinggi akan menjadi modal manusia berkualitas yang mampu bersaing global.
Program Makan Bergizi Gratis dengan sistem kontribusi bertingkat ini bukan sekadar program sosial, tetapi investasi jangka panjang untuk masa depan Indonesia. Dengan menggabungkan prinsip keadilan sosial, efisiensi anggaran, dan pembelajaran dari praktik terbaik negara lain, program ini dapat menjadi fondasi yang kuat untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Dengan transparansi penuh dan fokus pada kepentingan terbaik anak-anak Indonesia, kita dapat memastikan bahwa setiap rupiah yang diinvestasikan dalam program ini akan memberikan dampak maksimal bagi generasi penerus bangsa. Ketika orang tua diberdayakan sebagai pejuang gizi yang dibekali dengan pengetahuan, perangkat, dan sistem pendukung yang memadai, mereka akan menjadi agen perubahan yang berkelanjutan dalam menciptakan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berkarakter.
Saya Desyka Adji Safitri. Keinginan bersekolah yang menggebu-gebu di usia 4 tahun menjadi pertanda awal bahwa saya memiliki hasrat mendalam terhadap pendidikan dan pembelajaran. Sejak kecil, saya terbiasa dengan diskusi bersama ayah yang memperlakukan anak-anak sebagai setara secara intelektual, sementara ibu mempercayakan saya untuk memahami realitas dunia dewasa dengan perspektif yang matang. Meski dikenal sebagai pribadi pendiam, kemampuan komunikasi saya yang selektif justru menjadi kekuatan tersendiri. Hal ini terbukti dari penghargaan Best Media Influencer dalam acara nasional yang diselenggarakan oleh kampus, membuktikan bahwa kata-kata yang dipilih dengan bijak mampu memberikan dampak besar. Saat ini, saya sedang menjalankan program beasiswa Machine Learning Engineer dari DBS Foundation.
(Tulisan ini merupakan salah satu karya peserta lomba menulis opini 2025 yang diselenggarakan oleh SDGs Indonesia dan DWP Bappenas dengan tema "Peran Orang Tua dalam Pendidikan Gizi Keluarga dan Harapannya terhadap Program Makan Bergizi Gratis untuk Mendukung Pencapaian SDGs 2030 dan Indonesia Emas 2045" pada tanggal 14 Agustus 2025.)
Post a Comment
Post a Comment